Friday, November 29, 2013

Epitaph: Damai Dan Pengampunan

Hari ini mendapatkan banyak sekali hal-hal / pelajaran yang terkait dengan Damai, berdamai, mendamaikan dan pengampunan.

Yang aku pahami adalah damai dan pengampunan diberikan kepada mereka yang mau memahami dan mengakui kesalahannya.

Bukan diberikan begitu saja.

Harus ada keterlibatan kedua belah pihak, yang mau memberikan dan yang meminta/membutuhkan.

Yang membutuhkan tidak dapat memaksa untuk diberikan, apabila yang memberikan merasa masih belum tuntas.

Kata maaf adalah penutup, bukan segalanya. Alangkah baiknya apabila maaf diucapkan setelah "memahami", "mengerti", "menerima" dan "melaksanakan" apa yang menjadi pokok permasalahan.

Maaf tanpa "memahami", "mengerti", "menerima" dan "melaksanakan" adalah tidak berarti. Tidak tulus, dan tidak bermakna apa pun.

Orang sering salah mengartikan, ketika terjadi masalah secara spontan sering terucap kata "maaf". Kata yang dilontarkan secara spontan tersebut atau bahkan dari hasil perenungan sesaat tidak lah selalu positif hasilnya, tanpa dibarengi "ketulusan" dan "pemahaman" mengapa harus melontarkan kata "maaf" tersebut.

Orang sering mengganggap begitu kata "maaf" dilontarkan maka seluruh permasalahannya menjadi selesai pada saat itu juga, dan harus dilupakan selamanya.

Lebih cilaka lagi adalah apabila kata "maaf" tersebut dilontarkan ketika telah berada pada posisi "tersudut" atau "terdesak" setelah beberapa waktu, setelah terjadi adu argumentasi. Karena tanpa disadari setiap orang memiliki "ego" untuk "merasa benar" dan memiliki kecenderungan untuk "mempertahankan diri".

Dalam kata "maaf" terkandung pengertian "mengaku" atau minimal "merasa" bersalah. Tidak semua orang dapat merendahkan dirinya dengan "mengakui" atau bahkan "merasa" bersalah.

"Maaf" tanpa kata-kata "tapi" atau "maaf" setulusnya adalah obat paling mujarab.

"Maaf" tanpa ketulusan adalah sebuah kesia-siaan.

Memperlebar masalah menjadi berlarut-larut akan mempersulit "maaf" yang paling tulus sekali pun.

Dengan "maaf" yang dibarengi ketulusan, dipahami apa kesalahannya, dimengerti mengapa harus meminta maaf, menerima bahwa diri kita bersalah dan dilaksanakan (menyadari) secepat mungkin, maka akan menuntun kita menuju pribadi yang lebih baik. Dan "BERUBAH" pada saat itu juga.

Tidak ada alasan "BERUBAH" membutuhkan waktu, bagi pribadi - pribadi yang telah "memahami", "mengerti", "menerima" maka akan "melaksanakan" pada saat itu juga.

Pengampunan dan damai adalah hal indah, bagi seseorang yang berada pada posisi memberikan pengampunan dan damai alangkah eloknya bila tidak terjebak pada perasaan "menang" dan sama - sama mau memberikan pengampunan dan damai atau menerima "maaf" yang tulus secara tulus juga, pada saat itu juga.

Ego merasa benar dan berada pada posisi benar, adalah merupakan perasaan menyenangkan yang sulit untuk dipahami, seringkali menghambat kita untuk dapat memberikan pengampunan dan berdamai.

Indahnya meminta maaf,
Indahnya memaafkan,
Indahnya pengampunan,
Indahnya berdamai.

Tetapi ingatlah, ketika maaf dan memaafkan telah dilakukan masih ada konsekuensi atau tanggung jawab kedua belah pihak yang tidak dapat dihindarkan.

Memaafkan bukan berarti mengganggap masalah itu tidak pernah ada, dimaafkan bukan berarti terhindar dari konsekuensi tanggung jawab.

Berat sekali memaafkan secara tulus karena harus berani melupakan. Dan tidak pernah mengungkitnya sebagai hutang piutang.

Berat sekali meminta maaf secara tulus karena harus berani mempertanggung jawab kan. Dan berani untuk tidak mengulanginya lagi.

Memaafkan, meminta maaf adalah proses pembelajaran yang paling berat dalam hidup saya.

Satu hal yang saya sendiri tidak yakin, apakah sudah saya meminta maaf secara tulus? Untuk setiap kesalahan yang pernah saya lakukan? Atau kah masih terselip pembenaran di dalamnya?

Apakah sudah saya memaafkan secara tulus? Atau lebih memilih untuk memelihara perasaan senang di dalam hati melihat orang bersalah?

Jakarta, 6 Oktober 2013.

No comments:

Post a Comment