Thursday, November 21, 2013

Epitaph: Bujuk Rayu Kata - Kata

Dear all,

Di zaman sekarang ini, sering kita mendengar tentang adanya kemerosotan atau degradasi terhadap norma - norma kesusilaan, kesopanan dan mulai menipisnya nilai - nilai agama.

Seringkali juga orang sering mencari pembenaran terhadap apa yang dilakukannya ke dalam Kitab Suci. Dimana yang seharusnya kita berpegang pada nilai - nilai kebenaran yang ada, bukan mencari pembenaran. Contoh paling aktual adalah para koruptor, yang sering kali berpenampilan rapi bin jali plus alimnya minta ampun. Mensedekahkan sebagian dari hasil korupsinya karena ada jargon "sedekah membersihkan harta".

Degradasi norma - norma juga bisa dan sering kali terjadi karena pengaruh fashion atau mode melalui media televisi atau melalui tontonan gratis di mall - mall.

Misalnya:
Pada masa tertentu tattoo dianggap sebagai simbol pemberontakan. Dan masa ini terjadi pada tahun 70-90 -an. Dimana pada masa itu sedang terjadi gerakan hippies di Amerika. Dimana segala hal yang dianggap tabu didobrak dan dilanggar sebagai simbol pemberontakan. Terutama dipengaruhi oleh perang Vietnam yang banyak ditentang, dan para penentangnya disebut sebagai kaum hippies.

Atau pada budaya tertentu, misalnya Dayak, tattoo dianggap sebagai ritual u menunjukkan status derajat atau simbol - simbol tertentu, misalnya berapa kepala yang sudah dipenggal.

Atau pada budaya kaum Yakuza di Jepang, tattoo dibuat u menunjukkan identitas kelompok dan juga bisa sebagai penanda derajat kedudukan di dalam kelompok. Misalnya tattoo air mata di mata sebelah kiri, menunjukkan penyesalan karena anggota Yakuza tersebut telah membunuh seseorang, bila ada tattoo tersebut maka pastinya derajatnya di kelompok Yakuza cukup tinggi (note: Yakuza, kelompok mafia Jepang).

Tetapi sekarang, tattoo dianggap sebagai bagian dari mode / fashion. Dianggap keren dan cool. Sehingga sering kita melihat orang - orang (co dan ce) yang dengan bangganya memamerkan tattoo mereka. Tanpa memahami akan konteks sejarah dari tattoo itu sendiri.

Padahal norma-norma yang berlaku, bahkan agama pun tidak pernah berubah stigma-nya terhadap tattoo.

Apabila saya berhadapan dengan generasi 70-90 -an yang bertattoo, maka saya akan memberi hormat. Karena saya paham alasan mereka membuat tattoo, karena sebagian dari mereka telah menjadi korban yang dikenal dengan istilah "PETRUS" alias mati ditembak karena tattoo.

Apabila saya berhadapan dengan kaum Yakuza atau suku dayak yang ber-tattoo maka saya akan memberikan hormat. Karena melalui tattoo2 tersebut, saya bisa mengetahui derajat orang tersebut. Atau cerita yang ingin disampaikan.

Tetapi beda, apabila di mall bahkan di gereja saya melihat orang - orang pamer tattoo, maka saya akan tertawa terbahak-bahak. Mentertawakan kebodohan mereka, kalau mau keren kok pakai menyakiti badan sendiri? Karena kebanyakan dari mereka adalah orang - orang pengecut, yang ingin dianggap sebagai jagoan, cari jalan pintas agar diperhatikan dan disegani.

Seperti orang - orang yang sakit jiwa, hanya u dibilang cool mau menyakiti diri sendiri. Tetapi jangan meremehkan hal ini, karena tattoo terus terang bikin kecanduan. Saya pribadi sering tergoda untuk menambah tattoo di tubuh saya untuk menandai setiap peristiwa penting dalam hidup saya. Syukurlah, masih belum kesampaian. Entah nanti kelak kalau sudah punya anak, saya ingin melukiskan wajah anak - anak kecil di tubuh saya, sebagai penanda cinta terhadap anak - anak :)

Mereka yang mengerti tattoo, tidak akan memamerkannya. Di tempat ibadah, mereka akan menutupinya. Di hadapan keluarga mereka akan menutupinya. Karena mereka mengerti bahwa: nilai - nilai agama tidak ada yang mendukung mengenai tattoo. Karena mereka mengerti norma - norma yang berlaku di masyarakat masih tetap sama mengenai tattoo.

Patut dicermati mengapa generasi sekarang banyak yang mentattoo tubuhnya dan memamerkannya.

Ini terjadi karena "bujuk rayu kata - kata manis" mengenai tattoo. Bujuk rayu yang bisa mengikis habis Iman seseorang dan menipiskan nilai-nilai norma yang hidup dalam dirinya. Dan mengganggap tattoo adalah hal yang wajar. Bagian dari pernak - pernik dunia modern, keren dan cool. Dijelaskan prosesnya seperti apa sehingga lama - kelamaan kita akan bisa menerimanya.

Bujuk rayu kata - kata manis, memang berbahaya.

Tattoo adalah seni, katanya. Maka patut direnungkan mengapa untuk alasan seni dan keindahan harus menyakiti diri sendiri?

Sulit membayangkan seorang Manager memamerkan tattoo nya di Perusahaan yang benar. Kecuali perusahaan tersebut bergerak di bidang entertainment mungkin? Jadi apakah ada karir u orang bertattoo di militer? Pemerintahan? Atau Perusahaan Swasta? Atau di Gereja? Sejauh yang saya pahami, tidak ada selama di Indonesia. Rasanya belum pernah melihat Direktur, Jenderal, atau politikus yang bertattoo.

Sehingga, apabila saya sulit membayangkan seni yang menyakiti tubuhnya maka lebih sulit lagi bagi saya untuk memahami kesombongan memamerkan tattoo.

Dan lebih sulit lagi bagi saya untuk dapat mengganggap hal itu wajar.

Contoh lain:
Walau bagaimana pun, saya tidak pernah antipati dengan orang - orang yang mentattoo dirinya sendiri dengan alasan fashion :) It's ok. Karena manusia memiliki apa yang disebut dengan free-will atau kehendak bebas. Tidak antipati tetapi bukan berarti menyetujui. Sama halnya saya juga tidak antipati dengan kaum homo asal selama mereka tidak dekat - dekat dengan diri saya, ngeriiii :)

Juga mengenai alkohol, karena kita semua sudah mengerti bahwa alkohol itu tidak baik. Tetapi karena tidak enak dengan lingkungan, maka kita mulai mencoba - coba meminum alkohol yang ditawarkan. Beer misalnya, yang dibubuhi dengan kata - kata "ini tidak memabukkan kok!" "kadar alkoholnya rendah kok". Ini cocktail kok, cocktail kan ada buah - buahnya. Padahal cocktail itu biasanya terbuat dari minuman beralkohol berkadar tinggi, dicampur dengan air dan dibubuhi berbagai macam buah - buahan. Sepintas nampak seperti minuman es buah .. rasanya pun enak, tidak membuat mual. Tapi yang pasti membuat kita kehilangan kesadaran dan .. jadi deh! ....

Rasanya bagaimana gitu, kalau lagi kumpul sama teman - teman dan tidak mengikuti apa yang mereka makan dan minum. Ada perasaan tidak enak, takut dibilang kampungan a.k kamsupai, sungkan, malu dan mungkin di bawah alam sadar kita pengen juga sih nyoba, kayak apa sih rasanya. Ahhh sedikit saja kok .... ahhh minumnya kan bareng - bareng, ahhh mereka kan teman - teman saya dst -nya.

Yang namanya anjuran, larangan, aturan, undang - undang emang enaknya sih dilanggar :)

Penutup:
Harapan saya, semoga kita semua diberi kejernihan berpikir sehingga tidak termakan oleh bujuk rayu manisnya kata - kata yang dapat merubah persepsi kita.

Semoga selama kita ditinggal di Jakarta, mata kita tidak disilaukan oleh gemerlap lampu - lampu papan reklame. Pameran kemewahan dan kenyamanan, hal - hal yang tidak lazim yang dipertontonkan di depan umum. Sehingga lama - kelamaan menggerus Iman kita dan menggoyahkan norma - norma yang kita miliki sehingga kita menerima hal tersebut sebagai hal yang wajar dan lebih parahnya ikut - ikutan. Semoga kita tidak berubah dan kehilangan jati diri. Tidak terpengaruh oleh lingkungan kerja kita, dengan budaya korupsi. Tidak mudah menepis godaan uang :)

Lebih baik bilang tidak sekarang, daripada bilang saya menyesal di kemudian hari. Toh pepatah mengatakan Penyesalan selalu di akhir, kalau dimuka namanya pendaftaran. Yang jadi masalah apakah sekarang kita sedang mendaftar untuk menyesal (baik dengan kesadaran sendiri atau tanpa kita sadari) ?

Hanya berbagi cerita dan contoh saja.

Hehehehehehehe


Salam,
Virgani Dhirgacahya

No comments:

Post a Comment