Sunday, February 24, 2013

TORAJA - Part V: Perdagangan Kopi

Hi,

Kita lanjutkan sekarang dengan melihat bagaimana transaksi jual beli biji kopi dilakukan, antara petani langsung dengan para pengumpul kopi.

---------------------------------------------------------------------------------------------
Perdagangan kopi di Toraja pada umumnya bersifat pribadi, jangan membayangkan akan ada semacam pasar terbuka dimana kita bisa bebas membeli kopi. Karena antara pedagang dan petani kopi sudah terjalin satu hubungan (pelanggan).


Pada hari yang telah ditentukan (hari pasar), ayah segera bergegas menuju ke pasar kopi (dalam artian bergegas adalah terkadang berangkat jam 04.00 pagi .....). Dengan mengenakan jacket tebal dan masih dibungkus dengan sarung. Sarung ini ada tugas khususnya loh ....

Sampai di tujuan, ayah saya akan duduk di tempat seperti biasa. Menggelar kain sarung, menyiapkan uang dan tetek bengek lainnya. Lalu menunggu kedatangan para petani kopi yang sudah menjadi langganannya. Di pasar satuan yang digunakan adalah liter untuk menghitung biji kopi gabah.



 


Dalam photo di atas, kebetulan yang menjual biji kopi adalah seorang anak kecil. Ada cerita menarik bahwa anak tersebut sudah menunggu agak lama sebelum ayah saya datang. Dan ketika menunggu beberapa pedagang kopi lainnya sudah mencoba untuk membujuk / menawar agar anak kecil tersebut mau melepas kopinya, tetapi si anak tetap teguh menunggu kedatangan ayah saya. 



Sarapan dulu, sebelum lanjut transaksi bisnisnya.



Ayah bersama salah seorang rekan pedagang.



Untuk satu kali proses terkadang hanya berhasil mengumpulkan beberapa karung kopi saja, yang terdiri dari berbagai macam asal daerahnya. Dengan seksama, beliau akan memisah - misahkan kopi tersebut sesuai dengan asalnya.






Hari pasar benar - benar dimanfaatkan oleh para penduduk sekitar, mereka berkumpul, bertransaksi atau pun sekedar melihat kesibukan yang ada di pasar. Saling bertukar kabar terkadang juga jadi ajang bertukar gossip.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Salam,
Virgani Dhirgacahya

Thursday, February 21, 2013

TORAJA - Part IV: Sejarah Kopi Toraja

Sebelumnya mari kita mengenal sedikit sejarah tentang Kopi Toraja, tentang bagaimana tanaman kopi tersebut masuk ke Daerah Toraja dan lalu berkembang menjadi salah satu ikon. Ngomong - ngomong Kopi Toraja sempat dinobatkan sebagai Queen Of Coffee loh.

Tulisan di bawah ini saya sadur dari sebuah blog, dimana tulisan tersebut saya nilai sangat lengkap menyajikan informasi mengenai sejarah Kopi Toraja. Silahkan dinikmati.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sejarah Kopi TorajaDi wilayah Indonesia, kopi mulai ditanam pada abad ke-17 dan ini untuk diminum oleh kalangan atas orang Belanda. Pada zaman penjajahan tentara Jepang, pihak Jepang mencoba membuka perkebunan kopi di Toraja namun gagal. Dengan demikian, kopi Toraja hilang di pasar sejak zaman Perang Dunia Dua.

Sesudah perang, seorang Jepang, Mr. Oki, presiden perusahaan perdagangan kopi, mendengar adanya kopi yang bagus di Toraja namun sudah punah. Dia bermimpi membuat ulang kopi Toraja lalu memutuskan untuk mencari bibit-bibit kopi Toraja. Mr. Oki dan timnya datang ke Toraja pada sekitar tahun 1970 dan terus mencari bibit kopi di wilayah pengunungan dengan kuda atau jalan kaki selama satu bulan lebih. Berbagai kesulitan dihadapi oleh mereka. 

Akhirnya, mereka menemukan beberapa bibit kopi dan mencoba mengembangkannya kembali dan secara pelan-pelan memperbanyak bibitnya. Lalu, mereka bermimpi membuka lahan untuk membuat perkebunan kopi Toraja yang akan diekspor ke pasar dunia.

Mr. Seino, orang Jepang yang baru masuk perusahaan Mr. Oki pada tahun 1976, langsung ditunjuk sebagai utusan pembukaan perkebunan kopi karena dia pernah bekerja di Lampung pada 1971-1973. Memang, ini pertama kali ia ke Toraja. Pada waktu itu, jalan dari Makassar ke Toraja pun sangat buruk. Setiba di Toraja, tidak ada apa-apanya. 


Mr. Seino harus mulai dari nol, termasuk dalam berkomunikasi dengan masyarakat Toraja, tempat tinggal, dan kantor. Apalagi, kemampuan Bahasa Indonesianya tidak bagus. Penentuan lokasi perkebunan kopi juga mengalami berbagai kesulitan. Memang, waktu itu, PT Toarco Toraja sudah didirikan sebagai PMA antara pihak Jepang dan pihak Indonesia (perusahaan TNI), Mr. Seino bukan sendirian tetapi dukungannya tidak cukup.

Sesudah menentukan lokasi perkebunan kopi, muncul masalah lagi. Belum ada jalan sampai ke lokasinya. Mr. Seino meminta pihak pemerintah daerah setempat untuk membuat jalannya namun ditolak. Apa boleh buat, Seino harus memutuskan membuat sendiri jalan tersebut yang jaraknya 6 km sampai ke bukit Gunung Padamaran di atas. Kopi Arabika bisa berbuah jika ketinggiannya di atas 800 meter. 


Makin tinggi lokasinya makin bagus kopi Arabikanya. Kondisi saat itu tentu sulit. Semuanya hutan termasuk lokasi rencana perkebunan kopi itu dan jalan sambungannya. Dengan berbagai kesulitan, akhirnya perkebunan kopi di atas ketinggian 1000 meter dan jalan 6 km sampai ke perkebunan diselesaikan. Jalan pegunungan ini dinamakan Jl. Seino, satu-satunya jalan yang bernama orang Jepang di Indonesia.

Mr. Seino bekerja di Toraja sebagai kepala perkebunan kopi yang pertama pada 1977-1984, dan sekali lagi pada 1989-1993. Sesudah kembali ke Jepang, Mr. Seino tetap bertugas sebagai pengawas perkembangan perkebunan kopi di Toraja.



Namun, Mr. Seino merasa belum puas tugasnya itu. Dia selalu menyesal karena merasa belum cukup membalas sesuatu terhadap hati baik dan bantuan dari masyarakat Toraja. Setiap hari, dia pikir apa yang bisa ia berikan kepada masyarakat Toraja yang sangat membantu untuk kegiatan perusahaan kopi tempatnya bertugas. 

Mr. Seino memcoba belajar teknik khusus penggalian sumur air yang bernama "Kazusa Bori" (penggalian sistem Kazusa. Kazusa adalah nama kuno daerah Chiba Selatan di Jepang), karena banyak masyarakat Toraja kesulitan akses air bersih. Namun, karena usianya dianggap sudah tua dan terasa tidak kuat badannya, Mr. Seino memutuskan tidak bisa lanjut belajar Kazusa Bori. Mr. Seino mencari upaya yang lain untuk mengembalikan sesuatu kepada masyarakat Toraja.


Kebetulan, seorang professor dari suatu universitas swasta menawarkan pembuatan pupuk organik dengan memanfaatkan buangan kulit kopi dan percobaannya berhasil. Maka, Mr. Seino ingin menerapkan pembuatan kopi organik di perkebunan kopi PT Toarco Toraja. Selain itu, Mr. Seino memikirkan penanaman pohon sebagai shade tree buat penanaman kopi para petani (catatan: PT Toarco Toraja lebih banyak membeli kopi dari mpetani daripada produksi di perkebunan sendiri), dikaitkan dengan pendirian pabrik pengelolaan kayu sebagai sumber penghasilan petani dengan pembabatan shade treenya jika sudah besar. 
Mr. Seino bermimpi menghijaukan Toraja dengan kaitan produksi kopi yang ramah lingkungan, tanpa menyulitkan penghasilan petani. 

Mr. Seino adalah potret orang Jepang biasa. Hanya saja, dia mencintai Toraja dan masyarakat Toraja daripada siapa pun di Jepang. Pada 31 Oktober 2008, Mr. Seino akhirnya menutup usia sesudah hidupnya selama 65 tahun karena kanker liver. 

Sambil merasa minta maaf kepada masyarakat Toraja karena dia tidak bisa cukup mengembalikan sesuatu yang berguna terhadap hati baik dan bantuan masyarakat Toraja selama ini. Meninggalkan mimpi dan keinginan besar untuk Toraja kepada kita semua.




link: http://binkverbeck.blogspot.com/2012/11/kopitoraja-minuman-bersejarah.html
sumber: Torajacybernews

---------------------------------------------------------------------------------------------


Semua tulisan dan gambar dikutip dari blogspot tersebut di atas. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi penulis dari artikel tersebut di: http://www.blogger.com/profile/03217675575826321654

Salam,
Virgani Dhirgacahya

Tuesday, February 19, 2013

TORAJA - Part III: Rumah dan Budaya

Mari kita lanjutkan ...

---------------------------------------------------------------------------------------------

Bicara tentang Toraja tentunya tidak terlepas dari Rumah Tongkonan, so dalam kesempatan ini saya mau kasih lihat Rumah Tongkonan milik keluarga saya. Mari kita simak photo - photonya:







Saya sendiri punya kenangan tersendiri mengenai Rumah Tongkonan dimana di sebelahnya tergeletak sebuah batu yang teramat besar dan dari belakang batu tersebut sering keluar biawak yang berukuran cukup besar. Untuk saya sewaktu saya kecil biawak tersebut lebih menyerupai buaya .....

Jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan Rumah Tongkonan, menyimbolkan status pemilik Rumah Tongkonan tersebut. Mengingat bahwa harga satu kerbau bisa mencapai ratusan juta rupiah.






Beberapa detail ukiran yang menyertai sebuah Rumah Tongkonan. Ukiran khas Toraja ...


Sedangkan mengenai budaya, salah satu yang terkenal adalah acara penguburan. Kebetulan pada tahun 2012 akhir ada acara penguburan salah satu keluarga saya. Sedikit photonya saya coba sharing disini.



Menyiapkan kerbau yang akan dikurbankan, dimandikan dan dibersihkan. Dalam hal ini saya harus mengakui bahwa adik saya (Andi) memang telaten untuk urusan seperti ini.




Seperti biasa, ada adu kerbau. Kerbau - kerbau yang menang dalam adu ini biasanya tidak akan dikurbankan, tetapi akan dilelang. Sehingga sang kerbau jagoan akan melanglang buana dari satu pesta ke pesta lainnya. 




Setelah kerbaunya diadu, giliran manusianya yang diadu :) .. tapi dengan cara bermain saling menendang kaki lawan. Percayalah, ini menyakitkan 



Lagi - lagi, adik saya Andi sudah dikenal dengan kegemarannya untuk ikut pesta - pesta (kami menyebutnya pesta) seperti ini. Dalam laga adu kaki, salah satu ciri khas Andi adalah menutup matanya rapat - rapat hehehehehehe








Dan acara atau ritual yang membuat Toraja menjadi terkenal adalah acara kurban hewan (bisa kerbau atau babi). Dimana kerbau - kerbau yang telah dipersiapkan dibawa ke tengah - tengah tempat penyembelihan. Dan di tangan yang terlatih dengan satu kali ayunan golok maka akan mengakhiri hidup si kerbau.








Kemudian jenasah almarhum (sepasang suami istri), dipindahkan .... untuk dibawa ke desa / kampung istrinya. Untuk diadakan pesta yang sama sekali lagi.












Ribet, capai, melelahkan dan menghabiskan banyak uang ... itulah salah satu budaya dari suku kami. Orang Toraja.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Salam,
Virgani Dhirgacahya